hukum memakai peci hitam

Bung Karno pernah menceritakan di dalam otobiografinya bahwa beliau memilih memakai peci hitam karena peci merupakan tutup kepala yang biasa dipakai oleh rakyat kecil," ujar Gaffar dalam Episode 8 Bung Karno Series Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan yang dipandu Kirana Larasati secara virtual, di Jakarta, Selasa. Kewajibanini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan ("Peraturan MK 19/2009"). Jadi, kewajiban hakim untuk memakai toga berlaku untuk setiap persidangan dalam lingkup pengadilan apapun. Sedangkan kewajiban bagi jaksa penuntut umum untuk memakai toga, hanya diberlakukan Pasal4 PP Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyatakan pakaian yang dipakai oleh hakim, penuntut umum, panitera, dan penasihat hukum selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan adalah toga berwarna hitam dengan lebar simare dan bef dengan atau tanpa peci Aturanmengenai kewajiban untuk memakai pakaian sidang (toga) dalam sidang pidana bagi hakim, jaksa, penasihat hukum (advokat), dan panitera ini diatur dalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: "Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing.". Songkokhitam, peci hitam pakaian bangsa kita ini bukanlah ciri khas Ahlul BID'AH dan kita tidak bisa mengatakan bahwa setiap yang memakai [peci ini] itu ahlul bid'ah, maka dari itu saya tekankan dan katakan diantara kaidah tasyabuh yang diharamkan adalah menyerupai cirri khas, maka kalau bukan ciri khas maka itu bukan tasyabuh, makanya tadi Quel Est Le Meilleur Site De Rencontre Pour Les Jeunes. BerandaKlinikHak Asasi ManusiaKetentuan Berpakaian...Hak Asasi ManusiaKetentuan Berpakaian...Hak Asasi ManusiaSenin, 10 Februari 2020Senin, 10 Februari 2020Bacaan 5 MenitApakah ada ketentuan dresscode bagi Terdakwa di ruang sidang? Seperti dalam persidangan para aktivis HAM terkait Papua, apakah memang penggunaan koteka di ruang sidang tidak dibolehkan? Padahal itu kan bagian dari ekspresi budaya masyarakat Papua. Mohon berpakaian bagi Terdakwa di ruang sidang pada dasarnya tidak diatur secara khusus dan rinci di dalam peraturan perundang-undangan maupun di dalam tata tertib pengadilan. Dalam praktik, Terdakwa dapat menggunakan pakaian apapun, asalkan tetap sopan. Penilaian sopan atau tidaknya pakaian yang dikenakan oleh Terdakwa sendiri ditentukan sepenuhnya oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan. Apabila Terdakwa tidak menaati tata tertib persidangan, maka atas kewenangan yang diberikan kepada Hakim Ketua Sidang, sidang dapat ditunda. Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Tata Cara Berpakaian Dalam Persidangan Menurut KUHAPDi dalam KUHAP, pengaturan pakaian hanya ditujukan bagi hakim, jaksa, penasihat hukum, dan panitera. Hal ini termuat dalam Pasal 230 ayat 2 KUHAP yang berbunyiDalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut dalam Pasal 231 ayat 1 KUHAP dijelaskan bahwaJenis, bentuk dan warna pakaian sidang serta atribut dan hal yang berhubungan dengan perangkat kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat 2 dan ayat 3 diatur dengan peraturan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 bagi hakim, penuntut umum dan penasehat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam. Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef. Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam, kemeja putih dan dasi hitam. Apabila ditilik lebih lanjut pada laman Tata Tertib di Pengadilan milik Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pengaturan pemakaian bagi Terdakwa juga tidak diatur secara umum, pihak pengadilan memiliki panduan mengenai tata tertib umum yang harus ditaati oleh semua orang yang memasuki gedung pengadilan, yaituKetua Majelis Hakim bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban dari semua pihak yang hadir di ruang sidang. Semua yang hadir di ruang sidang harus menaati semua perintah yang dikeluarkan oleh Ketua Majelis orang yang hadir di ruang sidang harus selalu menunjukkan rasa hormat kepada institusi pengadilan. Jika ada satu pihak yang tidak menunjukkan rasa hormat kepada institusi pengadilan, maka Ketua Pengadilan dapat memerintahkan individu tersebut untuk dikeluarkan dari ruang sidang dan bahkan dituntut secara pakaian yang dengan suara yang jelas ketika seorang hakim atau penasihat hukum mengajukan pertanyaan, sehingga para hakim yang lain dapat mendengar dengan seorang hakim dengan sebutan “Yang Mulia” dan seorang penasihat hukum dengan sebutan “Penasihat Hukum”.Sedangkan tata tertib persidangan adalah sebagai berikutPada saat Majelis Hakim memasuki dan meninggalkan ruang sidang, semua yang hadir berdiri untuk menghormati. Selama sidang berlangsung, pengunjung sidang harus duduk dengan sopan dan tertib di tempatnya masing-masing dan memelihara ketertiban dalam ruang sidang dilarang makan, minum, merokok, membaca koran, atau melakukan tindakan yang dapat mengganggu jalannya sidang HP agar dimatikan/ tidak menelpon atau menerima telepon via HP. Dalam ruang sidang siapapun wajib menunjukkan sikap hormat kepada dilarang membawa senjata api, senjata tajam, bahan peledak, atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan sidang. Siapa yang membawanya wajib menitipkan pada tempat yang disediakan khusus untuk itu, yaitu di Panitera Muda sesuatu yang diperintahkan oleh Ketua Sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan, wajib dilaksanakan dengan segera dan surat perintah, petugas keamanan pengadilan karena tugas jabatannya dapat mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin bahwa kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata, bahan, atau alat maupun benda yang dapat membahayakan keamanan foto, rekaman suara, atau rekaman TV harus meminta izin terlebih dahulu kepada Hakim Ketua di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib persidangan, dan setelah Hakim Ketua Sidang memberi peringatan masih tetap melanggar tata tertib tersebut, maka atas perintah Hakim Ketua Sidang, yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. Apabila pelanggaran tata tertib dimaksud bersifat suatu tindakan pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap Berpakaian di Persidangan dalam PraktikDalam persidangan perkara pidana selama ini, Terdakwa dapat menggunakan pakaian apapun. Mulai dari pakaian kemeja putih dan celana hitam, rompi tahanan, hingga baju gamis maupun batik. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebebasan berpakaian diberikan kepada Terdakwa, asalkan tetap pakaian kemeja putih dan celana hitam yang umum dikenakan oleh Terdakwa dimaksudkan untuk menjadi pembeda antara pengunjung sidang dan Terdakwa. Hal ini bertujuan demi mencegah tahanan kabur. Dengan penggunaan pakaian yang seragam bagi Terdakwa, maka polisi dan jaksa dapat mengidentifikasi dengan cepat jika terjadi hal-hal yang tidak dengan pertanyaan Anda, penggunaan pakaian adat koteka oleh Terdakwa mendapat penolakan oleh Majelis Hakim karena dianggap tidak memenuhi syarat kesopanan untuk hadir di persidangan. Menurut kami, hal ini tanpa bermaksud untuk melakukan diskriminasi atas ekspresi budaya yang telah kami jelaskan sebelumnya, penilaian sopan atau tidaknya pakaian yang dikenakan oleh Terdakwa ditentukan sepenuhnya oleh Majelis Hakim yang mengadili perkara bersangkutan. Hal ini disebabkan karena belum terdapat aturan yang spesifik mengenai tata cara berpakaian dari tata tertib umum dan tata tertib persidangan yang diciptakan oleh lembaga pengadilan, sudah sepatutnya setiap orang dapat menaati dan mengikuti penilaian Majelis Hakim. Apabila seseorang tidak menaati tata tertib persidangan, maka Hakim Ketua Sidang dapat menolak siapapun mengikuti jalannya sidang. Apabila yang melanggar adalah Terdakwa, maka sidang dapat jawaban kami, semoga - Peci atau songkok dan sarung memang seakan sudah menjadi ciri khas orang muslim laki-laki di... loading...Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Bung Karno memiliki ciri khas tersendiri dalam tampil di depan publik, salah satunya berpeci hitam. Foto/Ist JAKARTA - Umumnya Bung Karno dikenal sebagai Bapak Proklamator, The Founding Father of Indonesia, Singa Podium, orator ulung ataupun seorang intelektual yang revolusioner. Namun, ada sisi lain dari Presiden Pertama Republik Indonesia yang masih jarang di tilik oleh banyak orang. Sisi lain itu yaitu seni, khususnya dalam berpakaian yang mengiringi kiprahnya dalam memimpin Indonesia. Bung Karno memiliki ciri khas tersendiri dalam tampil di depan publik. Baca juga; Cerita Tentang Pecel Blitar, Bung Karno, dan Revolusi Makanan Rakyat Bung Karno biasa memakai setelan jas dengan tanda kepangkatan simbol militer dan peci hitam. Ya, selama menjadi presiden, ada atribut busana unik yang dikenakan Bung Karno, yakni peci hitam yang selalu dipakai Bung Karno memiliki filosofi tersendiri. Yang menjadi alasan pemilihan peci sebagai teman outfit’ Bung Karno tak lain karena peci merupakan simbol dari rakyat kecil pada saat itu. Peci adalah tutup kepala yang sering dipakai oleh rakyat pribumi, bukan oleh raja, petinggi ataupun bangsawan pada saat soal peci sebagai sisi humanis Bung Karno diangkat dalam Episode 8 Bung Karno Series Badan Kebudayaan Nasional Pusat PDI Perjuangan bersama Dr. Abdul Gaffar Karim Dosen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan UGM dipandu oleh host Kirana Larasati."Bung Karno pernah menceritakan di dalam otobiografinya bahwa beliau memilih memakai peci hitam karena peci merupakan tutup kepala yang biasa dipakai oleh rakyat kecil," kata Gaffar, Rabu 9/6/2021. Baca juga; Luncurkan Buku Bung Karno, Guntur Ingin Kenalkan Sosok Soekarno dengan Cara Sederhana Selain itu, makna psikologis peci adalah simbol perlawanan kepada penjajahan kolonialis dan imperialis pada masa itu. Ada pula makna sosiologis bahwa Bung Karno seorang pemimpin revolusi yang benar-benar merakyat serta tulus untuk perjuangan rakyat Indonesia, simbol untuk mempersatukan rakyat melawan penjajah, serta menggambarkan tidak ada kesenjangan antara pemimpin revolusi dan rakyatnya."Itu merupakan simbol perlawanan kepada penajahan, kepada imperialisme dan peci hitam merupakan simbol paling tepat menggambarkan untuk waktunya rakyat berada di atas," lanjut GaffarUniknya, Bung Karno sering terlihat di berbagai pertemuan ataupun di foto resmi selalu memakai peci sedikit miring ke kiri. Bung Karno yang menyukai tentang filosofi, menggambarkan simbol keberpihakan kepada rakyat sosialis melawan penjajahan. Selain peci, jas putih keabuan dan tongkat komando yang dikenakan oleh Bung Karno saat itu juga memiliki makna psikologis, yakni menunjukkan rasa percaya diri, optimistis, kebanggan, dan kehormatan Bung Karno sebagai bagian dari bangsa yang merdeka dan berdaulat. Hal-hal itu merupakan kelebihan Bung Karno dalam membangun jiwa kharismatiknya mulai dari seni berpakaian, hal ini penting dalam membangun karakter tokoh yang memiliki jiwa nasionalisme, santun dan berkharismatik."Pecinya selalu sedikit miring kekiri, menggambarkan keberpihakan Bung Karno kepada rakyat. Bung Karno seorang ideolog, biasa menyampaikan pesan ideologi dengan cara apapun itu. Salah satunya lewat cara berpakaian, dan di sinilah Bung Karno menunjukkan bahwa beliau tidak ingin memihak kepada satu golongan saja," pungkas Talkshow & Musik’ BKNP PDIP dengan tema besar Bung Karno Series’ hadir setiap hari pada bulan Juni pukul WIB, tayang selama satu bulan penuh, dan dapat diikuti melalui kanal Youtube BKNP PDI Perjuangan, Instagram BKNPusat dan Facebook Badan Kebudayaan Nasional Pusat. wib Banyak kita jumpai, sebagian habâib, kiai, maupun tokoh Muslim dunia melilitkan sehelai kain di atas kepala mereka. Lilitan ini dikenal sebagai imâmah. Di Indonesia, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Maemun Zubair, Habib Luthfi bin Yahya, KH Musthafa Bisri serta ulama lain tampak memakai imâmah, meskipun ada yang tidak terus-menerus—terkadang memakai peci, kopiah maupun penutup kepala imâmah hukumnya adalah sunnah baik untuk shalat atau sekadar sebagai perhiasan. Hal ini berdasar atas beberapa hadits Nabi Muhammad ﷺ. Meskipun hadits-hadits tersebut dinilai dlaif, namun karena jumlahnya yang banyak, antara satu hadits dengan yang lain menjadi saling menguatkan. Demikian diungkapkan oleh Sulaiman al-Jamal dalam kitabnya Hâsyiyah al-Jamal. Salah satu hadits yang menyebutkan bagaimana Rasul memakai imâmah adalah sebagai berikutأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُArtinya “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ berkhutbah di hadapan masyarakat sedangkan beliau mengenakan imâmah berwarna hitam.” HR Muslim 452 Ada yang berpandangan, imamah adalah pakaian adat. Ia mempunyai kedudukan seperti halnya bagaimana Rasulullah mengenakan baju, memakai terompah, buang air kecil, dan lain sebagainya. Apakah kemudian menggunakan baju, terompah, buang air kecil itu menjadi sunnah karena Rasulullah memakainya atau melakukannya? Jika Baginda Nabi makan dan minum, apakah otomatis sunnah bagi kita melakukan kegiatan yang sama? Terdapat definisi sunnah yang mempunyai makna bahasa lughatan, yaitu semua jenis perilaku Rasulullah. Hanya bermakna perilaku. Istilah ini lebih lekat dengan dalam disiplin hadits. Dalam ilmu fiqih, sunnah bermakna satu hal yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala, apabila ditinggalkan tidak mengakibatkan dosa. Dalam konteks makna sunnah sebagai perilaku Rasul itu, posisi sunnah tak ubahnya adat atau kebiasaan manusia pada dari pandangan di atas, menurut kalangan Syafiiyyah, menggunakan imâmah adalah sunnah baik secara istilah hadits maupun secara kaca mata fiqih. Artinya, menggunakannya mendapatkan pahala, jika tidak menjalankan, tidak mendapatkan dosa. Berikut penjelasan Syekh Sulaiman al-Jamal وَتُسَنُّ الْعِمَامَةُ لِلصَّلَاةِ وَلِقَصْدِ التَّجَمُّلِ لِلْأَحَادِيثِ الْكَثِيرَةِ فِيهَاArtinya “Disunnahkan memakai imâmah untuk shalat dan dalam rangka berhias diri karena banyak hadits yang menyebut hal tersebut.” Sulaiman al-Jamal, Hâsyiyah al-Jamal, [Beirut, Ihyâut Turats al-Arabiy tanpa catatan tahun], juz 2, halaman 89 Masih dalam kitab yang sama, Syekh Sulaiman juga mengatakan, sunnah pula memakai kopiah/peci di dalam imâmah maupun memakai peci saja tanpa menggunakan imâmah. Pernyataan Syekh Sulaiman tersebut senada dengan perkataan mufti Hadramaut, Sayyid Abdurrahman Ba Alawi dalam karyanya Bughyatul Mustarsyidîn sebagai berikutوَتَحْصُلُ سُنَّةُ الْعِمَامَةِ بِقَلَنْسُوَةٍ وَغَيْرِهَاArtinya “Kesunnahan memakai imâmah dapat pula dicapai dengan memakai peci atau sejenisnya.” Sayyid Abdurrahman Ba Alawi, Bughyatul Mustarsyidîn, [Beirut, Dârul Fikr, 1994, halaman 144.Dengan demikian dapat disimpulkan, memakai peci, kopiah ataupun penutup kepala sejenis merupakan kesunnahan secara fiqih karena dianggap sama dengan imamah, serta Rasulullah juga menggunakan itu. Sebagaimana kesunnahan yang mirip dengan adat yang lain, seperti gosok gigi, i’tikaf dan lain sebagainya, memakai imamah ataupun peci, bagi pemakainya akan mendapatkan pahala jika disertai dengan niat melakukannya dalam rangka melaksanakan kesunnahan atau meniru perilaku Rasulullah ﷺ. Ahmad Mundzir Peci atau banyak juga yang menyebutnya dengan nama songkok adalah tutup kepala yang awalnya hanya dikenakan oleh pria muslim. Namun seiring dengan perkembangan zaman dan sejak dipopulerkan oleh Presiden Sukarno, peci seperti menjadi ikon pakaian resmi. Seperti yang bisa kita lihat dalam acara-acara resmi kenegaraan seperti pelantikan kabinet, para pejabat memakai setelan jas dan peci. Tetapi apakah selama ini kita pernah berpikir bahwa ada filosofi tertentu dibalik pemakaian peci tersebut. Mengapa orang Indonesia umumnya memilih peci hitam dengan bahan beludru untuk dikenakan. Mengapa peci jenis itu juga yang digunakan untuk melengkapi penampilan dalam acara formal. Bukankah sebenarnya masih banyak jenis peci lainnya yang bisa dipakai juga. Semua itu memang tidak bisa dilepaskan dari adanya filosofi yang berkaitan dengan peci hitam tersebut. Apa saja filosofi yang terkandung dalam pemakaian peci hitam tersebut? Semua akan dijelaskan di bawah ini. Filosofi Peci Hitam Menurut Bahasa Kopiah Peci disebut juga dengan kopiah yang berasal dari kata kafiya, artinya adalah penutup kepala dalam bahasa Arab. Sedangkan kopiah sendiri diartikan oleh orang Indonesia dengan definisi tersendiri. Filosofi dari kopiah adalah kosong sepi ibadah. Maksud kosong sepi ibadah adalah mengosongkan hati dari segala bentuk angkara murka dan maksiat serta menepi dari keramaian untuk beribadah. Sehingga bisa juga diartikan bahwa orang yang sedang memakai kopiah peci seharusnya melakukan ibadah mendekatkan diri pada Tuhan. Filosofi dari kopiah tersebut bisa juga diartikan sebagai kopiah melambangkan orang yang rajin serta taat melakukan ibadah. Songkok Selain peci nama lain yang sering digunakan untuk menyebutnya adalah songkok. Istilah songkok juga memiliki filososfi tersendiri yaitu kosong mbongkok. Artinya kurang lebih adalah mengosongkan hati dari sifat sombong dan mbongkok atau menunduk di hadapan Tuhan. Bisa juga diartikan bahwa orang yang sering memakai songkok diharapkan menjadi orang yang rendah hati dan selalu tunduk pada Tuhan. Peci Istilah yang paling umum digunakan memang peci untuk menyebut tutup kepala berwarna hitam tersebut. Peci sendiri diartikan sebagai sampe atau sampai suci. Itu adalah penggambaran bahwa orang yang memakai peci diharapkan mereka yang selalu menjaga kesucian hatinya. Sucinya hati tersebut didapatkannya dari ibadah yang selalu dia lakukan. Peci Tinggi Hitam Selain peci hitam yang biasa dipakai dalam acara-acara keagamaan ataupun kenegaraan seperti yang kita kenal, ada juga peci hitam tinggi. Sesuai namanya maka peci ini sebenarnya mirip dengan peci biasa hanya saja modelnya tinggi atau lancip. Peci hitam yang tinggi inipun juga memiliki filosofi tersendiri yang bermakna positif. Peci hitam model ini biasanya memiliki tinggi mencapai 14cm. Sedangkan filosofinya adalah menjangkau kedudukan Tuhan yang tinggi. Untuk bisa menjangkau kedudukan Tuhan tersebut maka seseorang harus meningkatkan derajat ibadahnya. Selain itu orang juga harus menjaga sikapnya, selalu berada di jalan lurus serta selalu menaati syariat agama yang sudah ditetapkan. Itulah beberapa filosofi atau nilai yang terkandung di balik pemakaian peci hitam seperti yang sering kita lihat sekarang. Sebenarnya peci hitam sendiri juga melambangkan sesuatu yang telah menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Peci kini tersedia banyak di toko ataupun di situs-situs belanja fashion online di internet. Memakai peci sekaligus mengingat sejarah bangsa ini. Peci Sebagai Bagian dari Sejarah Simbol Nasionalisme Bung Karno mengenakan peci saat melakukan perlawanan kepada penjajah yaitu Belanda saat itu. Bung Karno juga tetap menggunakan peci ketika diadili oleh pemerintah Belanda di masa itu. Saat berumur 20 tahun, Bung Karno menyerukan kepada para pemuda pribumi untuk memakai peci sebagai simbol nasionalisme. Tidak mengherankan jika hingga sekarang pemakaian peci dengan bahan beludru hitam menjadi bagian dari baju resmi. Peci beludru hitam dipakai sebagai pelengkap pakaian nasional yaitu jas. Simbol Kecerdasan atau Cendekiawan Selain dijadikan sebagai simbol nasionalisme, peci hitam juga mewakili orang dengan kecerdasan tinggi. Contohnya adalah Ki Hajar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional tersebut sejak dulu memang memakai peci dalam kesehariannya. Bahkan saat sedang menjalani masa pengasingan di Belanda, beliau tetap mengenakan peci. Selanjutnya ada tokoh bangsa lainnya yang mengganti blangkon dengan peci, yaitu HOS Cokroaminoto. Beliau mengganti blangkon yang identik dengan suku Jawa serta menggantinya dengan memakai peci. Kemudian ada Haji Agus Salim yang berasal dari Padang. Awalnya menurut sejarah penampilan H. Agus Salim memiliki gaya berpakaian ala Barat tetapi belakangan beliau memakai peci seperti pada foto yang sering kita lihat.

hukum memakai peci hitam